SISWA PEMBUNUH & PROVOKATOR: PIDANAKAN SAJA!

oleh : Reza Indragiri Amriel
Dosen psikologi forensik
Tawuran pelajar mengakibatkan sesama mereka luka-luka bahkan hingga kehilangan nyawa! Pelajar menjadi pembunuh! Sebutan itu berat masuk di nalar, tapi nyata.
Tragedi tersebut menghangatkan kembali wacana tentang pentingnya pendidikan karakter. Saya setuju. Orangtua perlu berperan lebih aktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka, dan tidak ‘memasrahkan’nya kepada pihak sekolah semata. Baguslah itu. Siswa perlu diberikan kesempatan lebih luas untuk mengekpresikan gairah muda sesuai tuntutan psikologis mereka. Ide yang pantas didukung.
Tapi semua gagasan di atas butuh waktu tidak singkat agar dapat berproses, sehingga menghasilkan manfaat yang diharapkan. Masalahnya, problem paling akut saat ini–hemat saya–adalah menindak para pelajar yang menjelma sebagai pembunuh tersebut.
Pelajar yang melakukan pembunuhan, sesuai Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA), bisa jadi masih berusia anak-anak. Di dalam UUPA tercantum bahwa anak adalah individu sejak berada dalam kandungan hingga sebelum delapan belas tahun. Terhadap anak-anak, kelakuan mereka yang tidak baik lazimnya dikategorikan sebagai kenakalan, bukan kejahatan. Konsekuensinya, terhadap anak yang sebenarnya telah melakukan pelanggaran hukum, dianggap tidak patut jika mereka dipidanakan.
Sebagai gantinya, kepada mereka dikenakan cara-cara alternatif (alternative dispute resolution), semisal group conferencing. Tujuannya lebih pada membingkai persoalan anak sebagai persoalan keluarga, sekolah, bahkan masyarakat luas. Dengan pendekatan seperti itu, diyakini bahwa proses edukasi ulang akan lebih besar peluang keberhasilannya menghasilkan anak dan keluarga (orangtua, utamanya) dengan perilaku yang telah termodifikasi.
Kesannya, sampai di situ, ideal. Tapi kalau kita mau konsekuen dengan UUPA, berarti walau pelajar yang telah melanggar hukum tidak dipidana, faktanya pernahkah ada alternative dispute resolution yang diselenggarakan secara paripurna? Apakah pernah, misalnya, kedua keluarga (pelaku dan korban) dipertemukan? Apakah pemantauan berkala dilakukan terhadap anak dan keluarganya oleh otoritas terkait semacam dinas sosial? Paling tidak karena pendekatan non-pemidanaan membutuhkan dana yang tidak kecil serta kerja sistemik yang komprehensif, terintegrasi, dan sinambung, saya ragu ada cerita sukses tentang pelaksanaan cara-cara alternatif dalam mengatasi anak Indonesia yang bermasalah dengan hukum.
Soal lain, kelakuan-kelakuan keji seperti yang dilakukan pelajar-pembunuh kerap kali dipandang sebagai manifestasi buruknya pengasuhan orangtua. Sekali lagi, jika kita mau konsekuen dengan UUPA dan pandangan tersebut, siswa (anak) pembunuh itu sesungguhnya berhak diasuh atau diangkat oleh orang lain sesuai peraturan yang berlaku (pasal 7 UUPA). Bahkan, pasal 13 UUPA juga memberikan ketegasan bahwa orangtua yang tidak melaksanakan kewajiban pengasuhan sebagaimana mestinya, baik dengan melakukan penelantaran maupun memperagakan kekejaman atau perlakuan salah lainnya, orangtua tersebut dikenakan pemberatan hukuman.
Sebagai catatan, penelantaran maupun kekejaman dan perlakuan salah merupakan tiga penjelasan umum tentang penyebab perilaku-perilaku buruk anak. Anak menampilkan perilaku buruk sebagai cara untuk menarik perhatian karena telah ditelantarkan, atau sebagai balas dendam karena telah diperlakukan secara keji, atau wujud duplikasi perilaku karena sehari-hari melihat orangtua ber’komunikasi’ dengan mengandalkan kekerasan.
Kenyataannya, saya juga tidak percaya, ada majelis hakim yang telah menyandarkan diri pada UUPA untuk menghukum orangtua anak berdasarkan kondisi-kondisi di atas.
Atas dasar itu, titik berangkatnya, saya mengusulkan dilakukannya perubahan terhadap pengkategorian usia anak. Usulan ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa dalam kejadian ekstrim siswa membunuh siswa lain, saya justru melihat penggunaan acuan usia anak berdasarkan UUPA tidak menunjukkan keberpihakan terhadap korban.
Berbeda dengan UUPA yang menetapkan kategori anak-anak berdasarkan usia biologis, agar proses hukum dapat berjalan ke depannya perlu dipertimbangkan bahwa penetapan kategori anak maupun pasca-anak diperhitungkan berdasarkan usia psikologisnya. Pergeseran penetapan usia anak ini diutamakan pada kasus-kasus berat, termasuk pembunuhan. Dengan melibatkan amicus curiae seperti dari kalangan psikologi perkembangan, daya nalar anak ditakar. Apabila pelajar yang membunuh tersebut disimpulkan sudah mempunyai pemahaman yang memadai tentang baik buruk atau benar salah, maka–menurut saya–tidak tepat lagi jika ia tetap dikategorikan sebagai anak hanya karena UUPA by default mengelompokkan usia biologisnya sebagai usia anak-anak.
Sebagai gantinya, kepada pelajar yang bukan anak lagi tersebut dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. KUHP ditegakkan. Demikian pula, sejumlah pasal ketentuan pidana dalam UUPA (bab XII) ditegakkan bukan untuk meringankan ancaman bagi si pelaku, melainkan guna memberikan pemberatan sangsi bagi siswa-pembunuh tersebut.
Siswa Provokator
Logika kerja yang sama, yakni penetapan kategori pasca-anak berdasarkan usia psikologis, bisa diterapkan pula terhadap siswa-siswa senior yang telah memprovokasi adik-adik kelas mereka untuk memusuhi bahkan mencederai dan menghabisi siswa-siswa dari sekolah yang berbeda. Siswa provokator dapat dijerat dengan dua pasal.
Pertama, pasal 160 KUHP, “Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum…, dihukum dengan penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.00. Kedua, pasal 87 UUPA, “Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak…atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan…dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Sumber: dedidwitagama.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini